S
|
etiap menjelang berakhirnya tahun ajaran, setiap instansi
pendidikan (baik sekolah, Dinas Pendidikan dll) tentunya di sibukkan dengan
penyelenggaraan yang rutin di lakukan setiap tahunnya yakni Ujian Nasional
(UN). Mulai dari persiapan logistik (lembar soal) hingga persiapan administrasi
peserta (UN) yang jauh-jauh hari di siapkan; seperti usulan calon peserta UN,
BIOS UN (Biodata Peserta UN) dan juga kesanggupan setiap sekolah untuk
menyelenggarakan UN. Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintah (dibaca
MENDIKNAS) dalam upaya mencerdaskan bangsa, seperti yang tertuang dalam UUD
1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun dibalik itu semua masih
mengundang pro dan kontra dari beberapa pihak yang menjadikan UN sebagai
standar kelulusan. Pasalnya UN di anggap kurang/tidak efektif dalam proses
pembelajaran. Berdasarkan fakta yang ada perbedaan standar kualitas sarana
prasarana sekolah di Indonesia bagian Barat (Pulau Jawa khusunya) berbeda
dengan wilayah Indonesia bagian Timur seperti Sulawesi, Maluku, Papua dll, dari
segi tenaga pendidik dan kependidikan juga memiliki kualitas yang berbeda. Yang
menjadi permasalahan adalah kurangnya perhatian pemerintah dalam mengelola sarana
dan prasarana sekolah yang ada.
Dengan ketentuan standar nilai tertentu dalam UN
sebagai syarat lulusnya sekolah malah semakin menjadikan kualitas pendidikan di
Indonesia justru semakin menurun. Dengan standar nilai yang ditentukan ini,
bukan hanya siswa yang merasa terbebani dengan target harus mencapai standar
tersebut, tidak jarang sekolahpun ikut berperan dalam memanipulasi nilai ujian
sekolah para siswa agar mampu menutupi nilai UN jikalau kurang atau bahkan
tidak mencapai standar nilai tersebut, bahkan ada yang nekat membayar dengan
rupiah hanya demi kunci jawaban soal UN. Hal ini dilatar belakangi karena
sekolah tidak ingin turun reputasinya hanya karena ada siswanya yang tidak
lulus dalam Ujian Nasional. Karena dewasa ini reputasi sekolah dilihat dari
seberapa banyak siswanya yang lulus dalam Ujian Nasional. Dengan demikian Ujian
Nasional bukan hanya dijadikan sebagai barometer untuk mengetahui
tingkat kecerdasan siswa melainkan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui
sekolah unggulan atau tidak.
Jika kita melihat lebih jauh lagi dari segi
sarana dan prasana antara sekolah yang berada di pedesaan dengan yang berada di
kota jelas sekali perbedaan kualitasnya, dimana sekolah yang berada di kota
falisitasnya boleh dibilang menunjang atau bahkan sangat menunjang untuk
melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan suasana yang aman dan
nyaman tentunya, dimana tidak ada ancaman ruang kelas yang roboh, ataupun yang
lainnya. Kontras sekali dengan fasilitas sekolah yang berada di pedesaan dimana
fasilitas serta sarana prasananya yang kurang menunjang untuk terciptanya
suasana belajar yang aman dan nyaman. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan
bagaimana kondisi setiap sekolah yang berada di pedesaan apakah sudah bisa
memberikan kenyamanan bagi siswanya dalam proses belajar?
Berdasarkan berita yang di kutip dari detik.com
besar dana yang di anggarkan oleh pemerintah untuk Ujian Nasional tahun 2013
lalu mencapai Rp. 543,4 miliar atau setengah
triliun rupiah lebih untuk dana Ujian Nasional (UN) 2013. Anggaran ini setara
dengan biaya per siswa Rp 39.000 dari total 14 juta siswa. Selain itu juga UN
tahun 2013 yang lalu menjadi sorotan masyarakat karena keterlambatan
pendistribusian soal yang menyebabkan terlambatnya penyelenggaraan UN di 11
Provinsi di Indonesia yang rencananya akan di gelar secara serentak di seluruh
Indonesia. Padahal dengan anggaran sebesar itu bisa digunakan untuk memperbaiki
sarana prasarana serta fasilitas di setiap sekolah yang mempunyai kekurangan
agar dapat melaksanakan kegiatan belajar dengan suasana yang nyaman serta
memberikan rasa aman terhadap siswanya.
Lantas seberapa efektifkah Ujian
Nasional (UN) dalam proses pembelajaran untuk peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia ini? Setuju kah anda dengan adanya Ujian Nasional (UN) sebagai barometer
pendidikan di Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar